Hidup di ibu kota, tepatnya kota
metropolitan seperti Jakarta, sungguh berbeda dengan di desa. Suraji sangat
merasakannya begitu dia menginjakkan kaki di Jakarta, kota yang selama dua
puluh tahun hanya dilihatnya lewat layar kaca.
Sebenarnya Suraji lebih senang tinggal
di kampung. Dia bisa mengurus sawah, kebun dan ternak bebeknya daripada harus
ke kota. Namun, ibunya memaksa dia ke Jakarta dan Suraji tak bisa menolak.
''Le kamu harus berangkat ke Jakarta.
Ini kesempatan bagus, mumpung ada yang menawari pekerjaan. Terima saja ndak
usah mikir njlimet yo.''
''Tapi aku ndak biasa hidup di kota
besar, Mak. Nanti bagaimana? Sejak kecil aku kan biasa hidup di lingkungan
pedesaan. Meskipun tamat SMA tapi aku gak pengin jadi orang kota."
''Wis, pokoknya kamu harus berangkat. Apa kamu tega menolak permintaan Kang Mansur yang begitu mengharapkan kesediaanmu."
''Wis, pokoknya kamu harus berangkat. Apa kamu tega menolak permintaan Kang Mansur yang begitu mengharapkan kesediaanmu."
Didesak oleh emaknya, Suraji tak
berkutik. Bagaimanapun juga dia memang merasa berhutang budi sama Mansur. Tamat
SMP, Suraji tidak punya uang untuk melanjutkan ke SMA. Padahal dia sangat ingin
sekolah di SMA. Saat itulah keluarga Mansur membantu, biaya sekolah di SMA
menjadi tanggungan keluarga sepupunya itu.
Dengan berbekal baju seadanya Suraji
berangkat ke Jakarta, naik kereta ekonomi. Dari Surabaya malam sampai Jakarta
siang pada hari berikutnya. Dengan susah payah dan bertanya kanan kiri
sampailah Suraji di rumah Mansur. Rumah yang berlokasi di bilangan Tebet
Jakarta Selatan itu sungguh besar dan mewah.
Hingga pukul 02.00 Suraji baru bisa
tidur. Pagi-pagi dia sudah bangun karena pembantu rumah tangga mengetuk pintu
kamarnya. Mansur sudah menunggunya untuk makan pagi.
''Kamu segera sarapan dan ikut saya."
''Baik, Mas.''
Mata Suraji beredar mengelilingi meja makan, dia tidak menemukan nasi. Yang ada di atas meja makan adalah roti tawar, selai kacang, mentega, coklat tabur dan susu. Melihat Mansur makan roti dengan mentega dan coklat tabur, Suraji menirunya.
''Kamu segera sarapan dan ikut saya."
''Baik, Mas.''
Mata Suraji beredar mengelilingi meja makan, dia tidak menemukan nasi. Yang ada di atas meja makan adalah roti tawar, selai kacang, mentega, coklat tabur dan susu. Melihat Mansur makan roti dengan mentega dan coklat tabur, Suraji menirunya.
Selesai sarapan Mansur mengajak Suraji
ke kantornya. Di dalam mobil, Suraji kedinginan. Meskipun sudah bersedekap,
dinginnya AC mobil mewah milik Mansur serasa menusuk sumsumnya.
Selama dalam perjalanan mata Suraji
tak berkedip. Suasana kota metropolitan sungguh seperti bumi dan langit jika
dibandingkan dengan desanya. Suraji merasa asing.
Sampai di kantor Mansur, Suaraji
langsung mendapat tugas. ''Ji, kamu nanti ikut Nardi ke toko. Tugas kamu
menggantikan Wawan yang sedang cuti selama sebulan karena ibunya sakit di
kampung.''
''Apa yang harus saya lakukan, Mas?''
''Kamu nanti akan diberitahu oleh Kelik apa saja pekerjaanmu. Pokoknya gampang, daripada di proyek rasanya kamu kurang cocok.''
''Baik, saya siap kok membantu Mas.''
''Apa yang harus saya lakukan, Mas?''
''Kamu nanti akan diberitahu oleh Kelik apa saja pekerjaanmu. Pokoknya gampang, daripada di proyek rasanya kamu kurang cocok.''
''Baik, saya siap kok membantu Mas.''
Dengan diantar Nardi, Suraji menuju ke
lokasi toko yang terletak di Pasar Senen. Ternyata dia menjadi penanggung jawab
toko. Toko tersebut menjual Alat Tulis Kantor, buku-buku umum, buku pelajaran,
buku fiksi, jasa fotokopi dan laminating. Karena letaknya strategis, toko
tersebut ramai dikunjungi orang. Jadi, meskipun judulnya sebagai penanggung
jawab, Suraji ikut cancut taliwondo alias menyingsingkan lengan baju
membantu dua orang pegawai toko yang sibuk melayani pembeli.
Meskipun di Pasar Senen banyak toko
buku dan alat tulis kantor (ATK), namun Toko Sejahtera milik Mansur
laris manis dan selalu ramai pengunjung seperti sarang tawon yang banyak
madunya.
Seharian Suraji tenggelam dalam
kesibukan barunya. Dia lupa desanya, lupa bebek-bebeknya, juga lupa Sunarsih
gadis tetangga yang sedang diincarnya. Setelah itu Suraji bertambah tekun saja
bekerja. Bahkan, satu minggu kemudian dia sudah berani kulakan alat tulis
kantor, disket, kalkulator dan alat olah raga di Pasar Pagi.
Tanpa terasa sudah satu tahun Suraji
bekerja di Jakarta. Toko Sejahtera bertambah maju dan besar bahkan sekarang
menjadi distributor buku-buku pelajaran. Suraji menggantikan Wawan yang pindah
karena malu. Dia merasa kalah bersaing dengan Suraji yang rajin dan ulet.
Malam itu Suraji leyeh-leyeh,
bersantai, di tempat tidurnya yang empuk. Ketika itulah dia mendengar suara
azan. Ya, sudah lama dia tidak menjalankan shalat lima waktu dengan tertib. Ada
saja yang bolong.
Suara azan itu bergetar dan
bergelombang. Waktu itu Suraji pernah mendatangi masjid sumber suara azan itu,
dan ternyata yang melantunkan azan adalah laki-laki tua yang berusia 80 tahun.
Meskipun suaranya sudah tidak merdu lagi, namun kakek tua itu masih bersemangat
mengajak orang lain untuk beribadah. Kakek itu bernama Engkong Ali. Suraji
hanya dua kali ke mushala, Suraji sibuk dengan pekerjaan.
''Orang Jakarta itu hanya memikirkan
kerja. Coba saja kamu lihat, mushala ini terletak di daerah yang padat
penduduknya. Tetapi, yang datang ke sini paling-paling tiga atau lima orang.
Itu pun hanya engkong dan anak cucu engkong.'' ''Menurut agama, kerja juga
ibadah, Kong. Kalau tidak bekerja mau makan apa?''
''Ya, engkong juga bekerja. Tiap hari
jualan soto mie dari pagi sampai sore. Tapi, shalat lima waktu tetap jalan.
Khusus hari Jumat engkong tidak jualan, namun engkong gunakan untuk shalat
Jumat dan pengajian. Toh engkong tetap hidup sampai sekarang, makan dan pakaian
cukup. Apalagi, Tong?''
Saat itu Suraji hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Dia merasa bahwa orang hidup itu memang harus
bekerja keras. Mansur sukses menjadi pengusaha, karena bekerja keras. Suraji
ingin mengail ilmu Mansur. Sukses orang lain pantas ditiru dan dipelajari.
Kalau tidak sekarang kapan lagi? Begitulah pikiran Suraji.
''Engkong sudah merasa cukup dengan
menjadi penjual soto mie dan hidup seperti ini. Tapi, Kong, saya ini orang
desa. Hidup saya pas-pasan. Saya ingin hidup lebih baik dari sebelumnya. Apakah
salah kalau sekarang saya bekerja keras untuk mencapainya.''
''Tidak, anak muda. Selagi kamu masih
muda bekerjalah sekuat tenaga. Tetapi manusia hidup itu bukan untuk saat ini
saja. Masih panjang jalan yang akan kamu tempuh. Jadi jangan kamu habiskan
tenagamu untuk saat ini saja. Engkong bukan orang pandai tapi engkong hidup
lebih lama dari kamu. Jadi pengalaman hidup itulah yang menjadi kelebihanku.''
Obrolan dengan engkong Ali tak terlalu
dipikirkan Suraji. Laki-laki muda itu tidak peduli. Niatnya sudah bulat, tidak
mau pulang kampung sebelum menjadi orang.
Begitulah, sehari lima kali engkong
Ali tetap mengumandangkan azan di mushala. Dia tidak pernah patah semangat
meskipun penduduk di sekitarnya tidak ada yang shalat di mushalanya.
Suraji terus bekerja. Setiap hari
berangkat pagi-pagi dan pulang malam. Dia mencari kiat-kiat supaya tokonya
berkembang besar dan banyak pelanggan. Menjadi saudagar harus banyak akal.
Mulai dari menambah barang dagangan sampai dengan memberikan diskon harga,
hadiah bagi pembelian jumlah besar, mengantar pesanan ATK ke kantor-kantor,
bekerja sama dengan sekolah, dan sebagainya. Otaknya terus diputar dan
melakukan inovasi. Mansur sangat puas dengan pekerjaan sepupunya itu.
Suraji sama sekali tidak pernah lagi
ke mushala. Hingga pada hari itu, pukul 04.15 dia terbangun. Tak lama kemudian
terdengar suara azan engkong Ali yang didahului batuk. Seperti biasa, azan
engkong Ali bergetar dan bergelombang. Suraji menarik selimutnya, mau tidur
lagi.
Tiba-tiba azan engkong terhenti,
Suraji menunggu. Engkong azan lagi, namun suaranya serak dan tambah bergetar,
''Hayya alah sholah...,'' lantas berhenti. Kali ini barangkali mikrofonnya
mati, batin Suraji. Namun, setelah ditunggu agak lama Engkong Ali tidak
melanjutkan azannya lagi.
Seperti ada yang mendorong, Suraji
menuju ke mushala. Matanya langsung tertuju pada sesosok tubuh renta yang
terlentang dekat mikrofon. Suraji mendekat dan berusaha tahu keadaan engkong
Ali. Ternyata, laki-laki tua itu masih sadar namun nafasnya tersengal-sengal.
''Anak muda, lanjutkan azan Subuh yang
belum selesai....'' Suara Engkong Ali serak, dengan tatapan mata berharap.
Meskipun masih bingung dan mencemaskan
keadaan Engkong Ali, Suraji melanjutkan azan yang terputus. Selesai azan, dia
kembali melihat keadaan Engkong Ali. Nafas kakek itu masih tersengal-sengal,
namun dia tersenyum. Wajahnya tampak puas.
''Terima kasih, anak muda. Setelah
bertahun-tahun, akhirnya ada pemuda yang mau azan di mushala ini. Rupanya Allah
SWT mengutus kamu untuk mengantikan aku yang renta ini....''
Dua hari setelah kejadian di mushala
tua itu, Engkong Ali meninggal. Entah kenapa Suraji merasa sedih. Dia selalu
terbayang saat Subuh datang ke mushala dan mendapati Engkong Ali dalam keadaan
menyedihkan. Haruskah ia mengabulkan permintaan Engkong Ali? Ah, Suraji
bimbang.
( )